Free Banana Wave Cursors at www.totallyfreecursors.com
Zahra_Xanze: 2011
اMari Berbagi Ilmu serta Wawasan..... Eits... Jangan Lupa, Baca Basmalah dulu sebelum Membaca...
Semoga Bermanfaat.....:)

Jumat, 04 November 2011

Pengertian Ulumul Qur'an dan Arti Penting Mempelajarinya bagi Keberagamaan Modern

·         A. Pengertian Ulumul Qur’an
Kata ‘Ulum” علوم  jamak dari kata’Ilmu علم. ‘Ilmu berarti الفهم والإدراك(“paham dan menguasai”). Kemudian arti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.
Jadi, yang dimaksud dengan ‘Ulumul Qur’an’ ialah yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Qur’an dari segi asbaabun nuzuul, an-Nasikh wal mansukh, al-muhkam wal mutasyaabih, al-Makki wal Madani, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur’an. Terkadang ilmu ini dinamakan juga Usulut Tafsir (“dasar-dasar tafsir”), karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur’an.[1]
Terdapat berbagai defenisi tentang yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an ( ilmu ilmu al-qur’an) contohnya yaitu :
Imam Al-Suyuthi dalam kitab Itmamu al-Dirayah mengatakan, Ulumul Qur’an adalah :
علم يبحث فيه عن احوال الكتاب العزيز من جهة نزوله و سنده وادابه والفاظه و معانيه المتعلقة باالاحكام و غير ذالك.
“ ilmu yang membahas tentang keadaan al-qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna – maknanya, baik yang berhubungan dengan lafal-lafalnya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.[2]
Imam Al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-irfan fi ulum al-qur’an merumuskan Ulumul Qur’an sebagai berikut : “ Pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan al-qur’an, dari segi turunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mukjizatnya, nasikh mansukhnya, dan bantahan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keragu-raguan terhadap al-qur’an dan sebagainya”.

·         B. Arti Penting mempelajari Ulumul Qur’an bagi Keberagaman Modern
Dalam kehidupan keberagaman modern, sudahlah tentu kita butuh untuk mempelajari Ulumul Qur’an dimana memiliki arti penting sebagai pijakan dasar agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan dan pedoman hidup dalam rangka meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.
Bagi keberagaman modern, Ulumul Qur’an sangat penting dipelajari dalam rangka sebagai pijakan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an oleh para mufassir. Dapat dikatakan semakin dikuasainya ‘Ulumul Qur’an oleh mufassir maka semakin tinggilah kualitas tafsir yang dibuatnya.
Dengan melihat Urgensi serta Faedah mempelajari Ulumul Qur’an dibawah ini, mampu mewakilkan sebagaimana pentingnya mempelajari serta mendalami Ulumul Qur’an bagi keberagaman modern :
A.    Faedah dan Urgensi mempelajari Al-Qur’an
Adapun tujuan dari mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:
1)      Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap Al-Qur’an
2)      Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
3)       Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an
4)      Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Hubungan ‘Ulumul Qur’an dengan tafsir juga dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:
a. Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai alat untuk menafsirkan, yaitu:
1)      Ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dapat dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir ‘Ulumul Qur’an secara mutlak merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
2)      Dengan menguasai ‘Ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an
3)      ‘Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b. Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai Standar atau Ukuran Tafsir
Apabila dilihat dari segi ilmu, ‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya semakin tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran, maka dengan ‘Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih.
Dari uraian diatas bisa difahami bahwa adanya Ulumul Qur’an sangatlah penting untuk dipelajari dan dikaji secara baik untuk mencegah adanya kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an dimana pada Keberagaman Modern saat ini tidak dipungkiri banyak kesalahan-kesalahan penafsiran yang memang disengaja untuk merubah makna dan ajaran serta perintah dan pedoman-pedoman yang terkandung didalamnya. Untuk itu sangatlah penting mempelajarinya bagi keberagaman modern.


[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an/Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009. Hal. 8-9.
[2] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: CV. Karya Abdi Tama, 1997. Hal. 23.

STUDI TENTANG AQIDAH DAN SYARI’AH

A. AKIDAH
1. Pengertian Akidah
Akidah berasal dari bahasa Arab ‘aqidah yang bentuk jamaknya adalah ‘aqa’id dan berarti faith, belief [1](keyakinan, kepercayaan, sedang menurut Louis Ma’luf ialah ma’uqidah ‘alayh al-qalb wa al-dlamir[2] yang artinya sesuatu yang mengikat hati dan perasaan. Dari etimologi di atas bisa diketahui bahwa yang dimaksud dengan “akidah” ialah keyakinan atau keimanan, dan hal itu diistilahkan sebagai akidah (aqidah) karena ia mengikatkan hati seseorang kepada sesuatu yang diyakini atau diimaninya dan ikatan tersebut tidak boleh dilepaskan selama hidupnya. Inilah makna asal “aqidah”yang merupakan definisi dari kata ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan yang artinya mengikat.
Menurut Mahmud Syaltut, akidah ialah sisi teoritis yang harus pertama kali diimani atau diyakini dengan keyakinan yang mantap tanpa keraguan sedikitpun. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya nash-nash Al-qur’an maupunHadist mutawatir yang secara eksplisit menjelaskan persoalan itu, disamping adanya consensus para Ulama’ sejak pertama kali ajharan Islam didakwahkan oleh Rasulullah. Dan perkara itu pula yang menjadi inti ajaran Allah kepada para rasul sebelumnya.[3]
Selanjutnya dalam kitab Muljam Alfalsafi, Jamil Shaliba mengartikan Akidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi ikatan yang mudah dibuka, karaena akan mengandung unsure yang membahayakan.[4] Dalam bidang perundang-undangan, akidah berarti mnyepakati antara dua perkara atau lebih yang harus dipatuhi bersama. Dalam kaitan ini akidah berkaitan dengan kata akad yang digunakan untuk arti akad nikah, akad jual beli, akad kredit dan sebagainya. Dalam akad tersebut terdapat dua orang yang saling menyepakati sesuatu yang apabila tidak dipatuhi akan menimbulkan sesuatu yang membahayakan. Akad nikah misalnya, apabila dirusak akan berakibat merugikan kepada dua belah pihak secara lahir maupun bathin, apalagi kedua pasangan tersebut telah dikaruniai putra-putra yang membutuhkan kasih sayang.[5]
Al-Qur’an menyebut Akidah dengan istilah “iman” sedangkan Syari’ah dengan istilah “amal shalih”. Adapun ayat-ayat yang berbicara tentang hubungan akidah dan syari’ah yang dijabarkan dengan hubungan dan keterkaitan antara iman dan amal shaliuh banyak sekali, antara lain: Q.S Al-Kahfi,8:107-108:An-Nahl, 16-97: dan Al-Ashr,103-3. Menurut Ahmad Daudi,semua amal shalih, seperti shalat, puasa, dan lain-lain bukan merupakan rukun iman tetapi bagian dari kesempurnaaan iman.[6] Dengan demikian, maka iman yang tidak diikuti dengan amal shalih adalah iman yang tidak sempurna:hal itu mengandung makna bahwa seorang mukmin yang tidak menjalankan kewajiban agama dan meninggalkan larangannya, tidaklah keluar dari iman dalam arti menjadi kafir, tetapi ia tetap masih menjadi mukmin tetapi mukmin yang fasiq (berdosa).[7]
2. Rukun Iman
Kalau kita berbicara tentang akidah maka yang menjadi topik pembicaraan adalah masalah keimanan yang berkaitan dengan rukun-rukun iman dan peranannya dalam kehidupan beragama.
Rukun iman yang berupa keimanan kepada Allah dan sifat-sifatNya, para rasulNya, para malaikat, kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul-rasulNya, hari akhir, dan qadha’ serta qadar, bisa ditemukan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Antara lain firman-Nya dalam Q.S. Al baqarah 2:285:

Rasul telah beriman kepada yang diturunkan kepadanya oleh Tuhannya dan juga orang-orang yang beriman. Semua telah beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, dan rasul-rasul Nya. Kami tidak membedakan salah seorang dari rasul-rasul itu dari lainnya…
Adapun yang berasal dari hadits Nabi terdapat dalam sebuah hadits panjang yang menceritakan dialog antara Nabi dengan Malaikat Jibril yang menyamar sebagai manusia. Ketika ditanya tentang iman, Nabi SAW menjawab:

Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari kemudian dan engkau percaya kepada takdir baik dan buruknya.[8]
a.      Iman kepada Allah
1.      Pengertian Iman kepada Allah
Beriman kepada Allah berarti:
1)      Percaya dengan sepenuh hati akan eksistensi Tuhan dan keEsaan-Nya serta sifat-sifat-Nya yang serba sempurna.
2)      Mengikuti tanpa reserve petunjuk/bimbingan  Tuhan dan Rasul-Nya yang tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadits.
3)      Menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits.[9]
Seseorang yang mengEsakan Tuhan berarti meyakini dan mengimani satu Tuhan dan tidak menyekutukan-Nya dengan zat lain, sehingga semua hidupnya dan segala perbuatan baik yang dilakukan semata-mata hanya untuk mencari ridha-Nya, sebagaimana disinyalir dalam firman-Nya:

Katakanlah:sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku (semuanya) kuserahkan kepada Allah penguasa semua alam.
Mempercayai KeEsaan Allah dalam zat-Nya, sifat-sifat-Nya, ciptaan-Nya merupakan kepercayaan tauhid yang murni (pure monothisme).
Dalam versi yang sedikit berbeda dengan diatas, dikatakan bahwa tauhid (pengesaan Allah) itu ada tiga macam, yaitu:[10]
1)      Tauhid ‘Ubudiyah ialah bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah SWT semata, dan selain dari-Nya adalah makhluk yang tidak boleh disembah sama sekali.
2)      Tauhid Rububiyah ialah bahwa Allah yang mencipta, memelihara, dan mengendalikan alam semesta ini dank arena itu ia disebut Rabb al ‘alamin.
3)      Tauhid Dzat wa Shifat ialah bahwa zat Allah tidak terdiri dari unsure-unsur atau oknum, dan tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai zat dan sifat-sifat-Nya.
2) Pengaruh Iman kepada Allah Terhadap Kehidupan Seseorang
Iman kepada Allah yang intinya dirumuskan dalam kalimat syahadat atau tauhid mempunyai dampak pisitif yang besar sekali manfaatnya bagi seorang dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat atau negara ialah antara lain:
1)      Iman kepada Allah mendorong seseorang untuk bertakwa kepadaNya, yaitu dengan menyadari kehadiran Allah disisinya dan bahwa ia selalu mengawasi segala tindak tanduknya. Hal itu mendorong seseorang untuk selalu berjalan dijalan yang di ridhoi dan menjauhi jalan yang dimurkaiNya.
2)      Iman kepada Allah akan menimbulkan kekuatan bathin, ketabahan, keberanian dan harga diri pada seseorang. Sebab ia yakin bahwa hanya Allah sajalah yang makha kuasa, yang menentukan segalanya di alam semesta ini;sedangkan selain allah adalah sama-sama makhlukNya yang tidak perlu ditakuti.
3)      Iman kepada Allah akan mendatangkan rasa tentram, aman dan damai dalam hati seseorang.karena ia telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada kekuasaan Allah untuk melindungi keamanannya dan mencukupi segala kebutuhannya.[11]

b.      Iman kepada Malaikat
1.      Pengertian Iman kepada Malaikat
Beriman kepada Malaikat berarti percaya bahwa Allah mempunyai makhluk yang disebut “Malaikat” kata malaikat adalah jamak dari kata “malak” yang berasal dari kata “alukah” yang artinya risalah. Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat yang mewajibkan orang mukmin untuk beriman kepadaNya adanya malaikat, antara lain terdapat dalam Q.S Al Baqarah,2;285.
      Malaikat termasuk makhluk allah yang ghaib, karena itu kita wajib mempercayai adanny, meskipun kita tidak dapat mengetahui hakikatnya. Disekelilikg kita, bahkan pada diri kita sendiri masih terdapat hal yang kita yakini adanya, tetapi kita tidak mengetahui hakikatnya dan tidak dapat membuktikn zatNya, misalnya nyawa kita sendiri, dan sebagainya.
           
2.      Sifat-sifat Malaikat
Malaikat adalah makhluk Tuhan yang ghaib, maka kita hanya wajib percaya keterangan-keterangan tentang malaikat dari sumber ajaran islam yang otentik yakni Al-Quran dan Hadits Nabi.
      Diantara sifat-sifat Malaikat yang bisa kita ketahui dari sumber-sumber tersebut, antara lain:
1)      Malaikat itu diciptakan dari cahaya(nur).
2)      Karena diciptakan dari cahaya, logislah bila Malaikat dapat berubah-ubah bentuk dan rupa menurut kehendaknya dan izin Allah, karena sifat cahaya adalah tidak terikat oleh bentuk tertentu.
3)      Malaikat mempunyai kekuatan yang luar biasa dengan izin Allah.
4)      Malaikat itu senantiasa bertasbih siang malam untuk memuji Allah, selalu patuh dan tunduk serta tidak pernah durhaka kepadaNya.[12]

3.      Tugas-tugas Malaikat
Didalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menerangkan tentang malaikat baik mengenai nama-namanya maupun tugas-tugasnya.Di antara malaikat yang disebutkan namanya secara ekplisit, antara lain:
1)      Jibril yang ditugaskan menyampaikan wahyu kepada para rasul-Nya.
2)      Mikal dan Mikail yang ditugaskan untuk menurunkan hujan dan member rizki kepada makhluk Allah.
3)      Israfil, ditugaskan Allah untuk meniup sangkakala pada hari kiamat.
4)      Izra’il, diberi tugas untuk mencabut nyawa makhluk Allah yang sudah tiba ajalnya.
5)      Ridlwan, ditugaskan untuk menjaga surga dengan dibantu oleh beberapa Malaikat lainnya.
6)      Malik, mendapat tugas menjaga neraka dan ia mengepalai 19 Malaikat lainnya disebut dengan Malaikat Zabaniyah.
7)      Raqib-Atid, yang disebut juga dengan Kiraman Katibin bertugas mencatat amalan manusia.
8)      Munkar dan Nakir, yang bertugas menanyai orang dalam kuburnya tentang Tuhannya, agamanya, nabinya dan lain-lain.
9)      Dan  lain-lainnya yang tidak disebutkan nama-nama mereka secara eksplisit dalam Al-qur’an walaupun tugas-tugasnya dijelaskan secara terperinci.

4.      Pengaruh Iman kepada Malaikat terhadap kehidupan seseorang
Percaya adanya Malaikat mempunyai pengaruh positif dalam kehidupan seseorang, antara lain:
1)      Dapat mendorong seseorang untuk selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
2)      Membuat seseorang selalu bersikap hati-hati dalam segala tindak tanduknya
3)      Menjadikan seseorang merasa aman dan tentram hatinya serta optimis dalam hidupnya.

c.       Iman kepada Kitab-kitab Allah
1.      Pengertian Iman kepada Kitab-kitab Allah
Beriman kepada Kitab0kitab Allah, berarti meyakini bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitabnya kepada Rasul-rasulnya yang berisi aturan-aturan Allah tentang akidah, ibadah dan perinsip halal dan haram.
Kitab-kitab suci yang diturunkan Allah banyaknya sejumlah Rasulnya. Hanya saja dalam Al-qur’an maupun Hadits tidak disebutkan secara konkrit semua nama kitabnya[13].yang di sebuthanya empat buah dan shuhuf yang diturunkan kepada Ibrahim AS.Ke-4 kitab tersebut ialah: Taurat diturunkan kepada Nabi Musa AS, Zabur kepada Nabi Dawud AS, Injil kepada Nabi Isa AS, dan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW.

2.      Pengaruh Iman kepada Kitab-kitab Allah Bagi Kehidupan Manusia
Mengimani seluruh kitab-kitab tersebut mempunyai hikmah yang besar bagi kita, antara lain:
1)      Mendidik umat islam untuk bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain untuk menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama.
2)      Memberikan keyakinan kepada umat islam bahwa Al-Qur’an adalah merupakan kitab penerus dan pelengkap terhadap semua kitab sebelumnya, dan jugamerupakan kitab Allah terakhir dan paling lengkap untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.

d.      Iman kepada para Nabi dan Rasul
1.      Pengertian Iman kepada para Nabi dan Rasul
Iman kepada para Nabi dan Rasul berarti percaya bahwa Allah telah memilih diantara manusia, beberapa orang yang bertindak sebagai utusanNya, mereka bertugas menyampaikan segala wahyu yang diterima dari Allah kepada umat manusia yang dibawa Malaikat Jibril, dan menunjukkan mereka ke bjalan yang lurus serta membimbing mereka untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.

2.      Sifat-sifat Para Nabi
Menurut ajaran islam, bahwa para Nabi itu sesuai dengan kedudukannya yang tinggi disisi llah dan fungsinya sebagai pemimpin dan pembimbing umatnya, maka mereka pasti mempunyai kepribadian yang lengkap atau sempurna dan akhlak yang mulia, agar mereka bisa menjadi suri tauladan bagi umatnya, seperti disebut dalam QS. Al-Qalam, 68 : 4, dan Al-Ahzab 33:21. Karena itu, semua Nabi dan Rasul bersifat ma’shum (terjaga atau terhindar dari perbuatan dosa), dank arena sifat ma’shum inilah maka setiap Nabi dan Rasul memiliki empat sifat utama yaitu:
1)      Shidiq, artinya benar dan jujur dalam ucapan dan perbuatan atau tingkah lakunya.
2)      Amanah, artinya terpercaya dan terpelihara dari segala macam dosa, cacat, tingkah laku yang dapat merendahkan derajatnya sebagai manusia teladan dan pilihan Allah.
3)      Tabligh, artinya menyampaikan segala wahyu/amanat Allah yang diterimanya dengan segera.
4)      Fathanah, artinya cerdas, pandai, dan bijaksana.

3)      Pengaruh Iman kepada para Nabi dan Rasul bagi kehidupan Manusia
Iman kepada Nabi dan Rasul seperti halnya iman kepada kitabkitab suci allah mempunyai dampak positif bagi kehidupan seseorang, antara lain;
1)      Mendidik orang muslim untuk bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain untuk menciptakan kerukunan hidup beragama. Bermasyarakat. Dan bernegara umat berlainan agama.[14] hal ini sesuai dengan prinsip kebebasan beragama yang sangat dihormati islam sebagaimana termaktub dalam QS.Al Baqarah. 2 : 256. Al-kafirun.109 : 6
2)      Member keyakinan kepada orang muslim bahwa semua nabi dan rasul mempunyai misi suci (sacred mission) yang sama, yakni mengajak manusia untuk beriman dan beribadah hanya semata-mata kepada allah agar mendapatkan ridlo-nya. Dan bahwa nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang diberi tugas menyampaikan ajaran agama yang paling lengkap untuk dijadikan way of life bagi seluruh umat manusia sepanjang masa.

e.       Iman kepada hari kiamat
1.      Pengertian iman kepada hari kiamat
Beriman kepada hari kiamat atau hari kiamat berarti kita harus percaya bahwa semua akan mati, kemudian akan dibangkitkan kembali (dari alam kubur). Setelah dibangkitkan, kemudian kita dikumpulkan disuatu tempat yang luas sekali bernama “Mashar”, dan disanalah amal perbuatan kita yang baik maupun yang buruk akanditimbang atau dihisab(QS.Al-A’raf,7:8-9). Pada waktu inilah kita akan menerima balasan yang adil sesuai dengan amalan masing-masing selama hidup di dunia(QS Al-Zalzalah,99:6-8).
2.      Nama-nama Hari Kiamat
Dalam Al-Qur’an hari kiamat disebut beberapa nama, dan ada kalanya dikaitkan dengan zaman atau masa. Nama-nama tersebut biasanya dikaitkan dengan peristiwa atau kejadian yang akan dialami manusia pada saat itu, seperti; yawm al-ba’ts yakni hari kebangkitan, yawm al-khuruj yakni hari keluar dari alam kubur, yawm alhisab yakni hari perhitungan, yawm al-qiyamah yakni hari kiamat atau bangun dari tidur, yawm ad-din yakni hari pembalasan, yawm al-khulud yakni hari kekal abadi, dan lain-lain.[15]
Selain itu, ada kalanya hari akhirat itu dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa besar yang akan terjadi dan dialami manusia ketika masa itu tiba, seperti al-qari’ah, al haqqoh, al-ghasyiyah, al-waqi’ah, dan lain-lain. penjelasan dari nama-nama tersebut oleh Allah diterangkan dalam ayat-ayat dimana nama-nama itu terdapat.[16]

3.      Tanda-tanda Hari Akhir
Hari Kiamat itu meskipun saat tibanya tidak dapat diketahui sama sekali oleh siapapun, kecuali Allah yang maha Esa sendiri, tetapi Allah memberikan beberapa tanda yang menunjukkan bahwa kejadian itu sudah dekat.
Adapun tanda-tanda tibanya hari kiamat, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur’an dan Hadits Nabi, ada dua macam, yakni:
1)      Tanda-tanda kecil, antara lain:
a)      Diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir.
b)      Jumlah wanita lebih banyak dari pria
c)      Penghianatan dianggap berjasa atau pahlawan, dan sebaliknya pahlawan dianggap penghianat.
d)     Manusia berlomba dan bersaing membangun bangunan-bangunan yang tinggi untuk riya’.
e)      Perhiasan masjid yang berlebihan, dan suara hiruk pikuk di masjid.
f)       Perzinaan, minuman keras merajalela.
g)      Penyalahgunaan jabatan/kedudukan membudaya.
h)      Perpecahan dikalangan umat islam akibat provokasi dari musuh-musuh islam.
i)        Anak durhaka kepada orang tua, dan suami tunduk istri.
j)        Orang fasik dan orang amoral menjadi pemimpin.
k)      Orang menghormati seseorang karena takut kejahatannya.
l)        Peperangan antara umat islam dan yahudi berakhir dengan kemenangan di pihak umat islam.[17]
2)      Tanda-tanda besarnya, antara lain:
a)      Keluarnya Dajjal dengan membawa fitnah bahwa dirinya tuhan yang mampu menghidupkan orang mati.
b)      Muhammad al-Mahdi(masih keturunan Nabi Muhammad) muncul di bumi untuk menegakkan keadilan.
c)      Nabi Isa turun kebumi untuk mengkoreksi kesalahan doktrin agama Kristen, yang tidak pernah ia ajarkan kepada para pengikutnya selama hidupnya.
d)     Binatang yang misterius sekali keluar dari bumi.
e)      Matahari terbit dari arah barat.
f)       Ka’bah kiblat umat islam seluruh dunia, dihancurkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dari bangsa Ethiopia.
g)      Kitab suci Al-Qur’an musnah dari muka bumi baik berupa tulisan maupun sebagai hafalan.

4.       Hikmah dan Manfaat Iman kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir mempunyai dampak positif bagi kehidupan seseorang, antara lain;
1)      Manusia akan senantiasa menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah.
2)      Member hiburan dan dorongan bersabar bagi orang muslim.
3)      Memberikan rasa keadilan bagi orang-orang yang merasa dianiaya ketika hidup didunia dan tidak mampu membalas.

f.       Iman kepada Qadar atau takdir.
1.      Pengertian Iman kepada Qadar/Takdir
Beriman kepada qadar atau takdir berarti:
1)      Percaya bahwa Allah itulah yang menjadikan makhluknya dengan kodrat(kekuasaan), irodat(kehendak), dan hikmahnya (kebijaksanaan).
2)      Percaya bahwa Allah mempunyai beberapa sunnah atau hukum dapat menciptakan makhlukNya.
Menurut al-Raghib al-Ashfahani, “qadar” ialah batas atau ukuran yang ditetapkan Allah untuk semua ciptaanNya, sedang “qadla” ialah keputrusan Allah terhadap suatu peristiwa. Jika dibuatkan suatu perumpamaan, maka “qadar” ialah benda yang akan diukur volumenya atau beratnya, sedangkan”qadla” adalah benda yang telah diukur atau ditimbang kadarnya.[18] Dengan demikian, “qadar” masih ada kemungkinan berubah, sebab benda yang akan diukur mungkin ukuran atau beratnya tidak pas (bisa kurang bisa lebih) lain halnya dengan”qadla” yang merupakan benda yang sudah diukur atau ditimbang maka ukuran atau beratnya tidak bisa lagi berubah.
2.      Hikmah/Manfaat Iman kepada Qadar dan Qadla Allah
Iman kepada qadar dan qadla Allah mempunyai dampak yang sangat positif bagi diri seseorang, antara lain:
1)      Dapat mendorong seseoranmg untuk bersikap berani dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, dalam meninggikan kalimat Allah.
2)      Dapat menimbulkan ketenangan jiwa dan pikiran pada diri seseorang.

B. Syari’ah
 Syari’ah ialah susunan, peraturan dan ketentuan yang disyari’atkan tuhan dengan lengkap atau pokok-pokoknya saja, supaya manusia mempergunakannya dalam mengatur hubungan dengan tuhan, hubungan dengan saudara seagama, hubungan dengan saudaranya sesame manusia serta hubungannya dengan alam besar dan kehidupan.[19]
Istilah Syari’ah dalam konteks kajian hukum islam lebih menggambarkan kumpulan bentuk masdar dari syaraa’a yang berarti menciptakan dan menetapkan syari’ah. Sedang dalam istilah ulama’ fiqih “menetapkan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun dengan umat manusia lainnya”.[20]   
            Sejalan dengan ini Faruq Nabhan juga berpendapat bahwa syari’ah itu mencakup aspek-aspek akidah, akhlak, dan amaliyah.  Namun menurutnya, istilah syari’ah itu terkadang terkonotasi fiqh,[21] yaitu pada norma-norma amaliah beserta implikasi kajiannya.
            Dan kini Mahmud Shaltout memberikan pengertian yang jelas, dia mengartikan bahwa syari’ah itu adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, atau hasil pemahaman atas darar ketentuan tersebut, untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam hubungannya dengan tuhan, dengan umat manusia lainnya, orang islam dengan non muslim, dengan alam maupun dalam menata kehidupan ini.[22]
            Pengertian yang dikemukakan Shaltout ini relative lebih akomodatif, karena dapat mewakili dua jenis syari’ah yaitu ketentuan-ketentuan yang diturunkan serta dikeluarkan oleh Allah dan Rasulnya, serta norma-norma hukum hasil kajian para ulama’ mujtahid, baik melalui qiyas maupun mashlahah. Kemudia n, pengertiannya itu juga membatasi syari’ah pada aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, dengan manusia lain, alam dan lingkungan sosialnya.
C. Hubungan Antara Akidah dan Syari’ah
Dalam bentuk (struktur) islam, Akidah itu dasar, diatasnya dibangun Syari’ah. Maka syari’ah itu suatu kesan(jejak langkah) yang mesti mengikuti dan melayani akidah. Sebab itu, tidak ada syari’ah dalam islam tanpa akidah, sebagaimana syari’ah tidak bisa subur dan berkembang kalu tidak dibawah lindungan akidah. Maka syari’ah tanpa akidah tak ubahnya bagai bangunan yang tergantung di awang-awang, tiada terletak diatas dasar(fondamen) yang kuat. Syari’ah yang tiada mempunyai sandaran kekuatan moral, yang memberikan ilham supaya syari’ah itu dihormati dan dipatuhi, dijalankan menurut semestinya, tanpa memerlukan bantuan kekuatan manapun selain dari perintah jiwa sendiri.[23]
Kalau demikian maka islam mewajibkan adanya hubungan yang erat diantara syari’ah dengan akidah, hingga tidak terpisah satu sama lain dengan syarat bahwa akidah itu pokok yang mendorong pada terwujudnya syari’ah, sedangkan syari’ah merupakan pelaksanaan, sebagi tanda terpengaruhnya hati dengan akidah. Dan hubungan ini adalah sebagai jalan keselamatan dan kebahagiaan, karena hal itu telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hambanya yang beriman.[24]
Maka teranglah Akidah dan Syari’ah memerlukan hubungan dan jalinan yang erat, sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan terjadinya jalinan yang erat ini, terbentanglah jalan menuju keselamatan,kemenangan dan keberuntungan, menuerut yang telah disediakan tuhan untuk hambanya yang beriman.
Maka dengan demikian, orang yang beriman dan mempunyai akidah, tetapi menyampingkan syari’ah(meninggalkan amal sholeh) atau hanya mematuhi syari’ah, tetapi tiada menjunjung akidah, maka orang itu bukan pula berjalan disepanjang menuju keselamatan dan kejayaan.[25]


[1] Hans Wahr, A Dictionary of Modern Writen Arabic : Arabic English (Wiesbaden : Otto Harrassowitz, 1971), hal 628.
[2] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam(Beirut : Dar al-Masyriq,1975), cet.ke 26, hal 519.
[3] Mahmud Syaltut, Al-islam ‘Aqidah wa Syari’ah(Beirut: Dar al-Syuruq,1972), cet.ke 6, hal 22.
[4] Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafi, jilid 1, (Beirut:Dar al-kutub al-Lubnany),hlm. 82.
[5] Abbuddin Nata, M.A.Prof. Dr. H.,Metodologi Studi Islam,PT.rajaGrafindo persada, Jakarta.2008.
[6] Ahamad daudy, Kuliah Akidah Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1997),cet.1, hal.34.
[7] Bandingkan dengan Masyfuk Zuhdi, Studi Islam, Jilid 1 : Akidah (Jakarta: Rajawali Pers,1993),Cet. Ke-2, hal.7.
[8] Al-Nawawy, Syafh Matn al-Arba’in, (Damaskus: tp.,1966), hal.19.
[9] Ibid., hal. 11.
[10] Ahmad Daudy, opcit., hal 53-55.
[11] Bandingkan dengan Masyfuk Zuhdi, opcit., hal.22-23.
[12] Studi Islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, (Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press,2005), Cet. Ke-3 hal 83-84.
[13] Masyfuk Zuhdi, opcit., hal. 43.
[14] Lihat Abu al-A’la al-maududi, Islamic Law and Constitution (Lahore :Islamic Publication, Ltd.(1976), hal. 295, dst).
[15] Ahmad Daudy, opcit., hal.132.
[16] Ibid.,hal. 133.
[17] Abu al-‘Ula, opcit., hal.155. Lihat Masyfuk Zuhdi, opcit., hal.90, Sayyid Sabiq, opcit., hal. 418 dst dan Ahmad Daudy, opcit., hal.136.
[18] Al- Raghib al-ashfahani, Mu’jam Mufrodat Alfazh al-Qur’an(Beirut : Dar al-Fikr,tth) hal.100.
[19] Mahmud Shalut,Prof.Dr.Syekh.,Akidah dan Syariah Islam 1,(Jakarta : Bumi Aksara).hal.XII-XV
[20] Muhammad Faruq Nabhan,al-Madkhal li-Tasyri’ al-Islami(Beirut : Dar al-Qalam,1981),hal.11.
[21] Faruq Nabhan,opcit.,hal.13.
[22] Muhammad Shaltout,al-Islam Aqidah wa al-Syari’ah (Beriut : Dar al-Qalam,1966),Cet. 3, hal.12.
[23] Mahmud Shalut,Prof.Dr.Syekh.,Akidah dan Syariah Islam 1,(Jakarta,Bumi Aksara),hal.XII-XV.
[24] Bustami A Gani,Prof.H.,Islam sebagai Aqidah dan Syari’ah,(Bulan Bintang),hal.29-30.
[25] Mahmud Shalut,Prof.Dr.Syekh.,Akidah dan Syari’ah Islam 1,(Jakarta : Bumi Aksara),hal.XII-XV.