Free Banana Wave Cursors at www.totallyfreecursors.com
Zahra_Xanze: FITRAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
اMari Berbagi Ilmu serta Wawasan..... Eits... Jangan Lupa, Baca Basmalah dulu sebelum Membaca...
Semoga Bermanfaat.....:)

Jumat, 04 November 2011

FITRAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

A. DEFINISI DAN TEORI TENTANG FITRAH
Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik di antara makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah, atau unsur fisiologis dan unsur psikologis.
Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam psikologi disebut potensialis atau disposisi, yang menurut aliran psikologi behaviorisme disebut prepotence reflexes (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang). 
Dalam pandangan islam kemampuan dasar/pembawaan ibu disebut dengan “fitrah” yang dalam pengertian etimologis mengandung arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja  yang berarti menjadikan.
Kata “fitrah” ini disebut dalam Surat ar-Rum: 30 sebagai berikut:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِى فَطَرَالنَّاسَ عَلَيْهَالاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَالِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ اَكْثَرَالنَّاسِ لاَيَعْلَمُوْنَ (الروم   )
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya (sesuai dengan kecenderungan aslinya) itulah fitrah Allah, yang Allah menciptakan manusia dia atas fitrah itu. Itulah agama yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya. (Ar-Rum:30)
Di samping itu tedapat beberapa sabda Nabi SAW dengan beberpa riwayat dari para sahabat yang berbeda pula mantannya. Sebuah sabda nabi SAW yang populer, yang banyak disetir oleh para ulama’ antara lain adalah sebagai berikut:
كُلُّ مَوْلُوْدٍيُوْلَدُعَلَى اْلفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ اَوْيُمَجِّسَانِهِ
“tiap-tiap anak dilahirkan diatas fitrah maka Ibu Bapaknyalah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama yahudi, nashrani, dan majusi". [1]
            Menurut Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag. dan Dr. Jusuf Mudzakkir, M.Si. fitrah dapat diartikan dengan citra asli yang dinamis, yang terdapat pada sitem-sistem psikofisik[2] manusia, dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal penciptaannya [3]
Bila diinterprestasikan lebih lanjut dari istilah fitrah sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis diatas, maka dapat diambil pengertian secara terminalogis sebagai beriku:
1.      Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham nativisme. Oleh karena kata fitrah mengandung makna kejadian yang didalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapapun atau oleh lingkungan apapun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Berdasarkan interpretasi demikian, maka ilmu pendidikan Islam bisa dikatakan berpaham nativisme yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa anak didik tidak berdaya merubahnya. Paham nativisme ini berasal dari pandangan filosofis ahli pikir Italia bernama Lomrosso, dan ahli pikir Jerman bernama Schopenheuer pada abad pertengahan.
Pengertian yang bercorak nativistik diatas berkaitan juga dengan faktor hereiditas atau keturunan yang bersumber dari ortu, termasuk keturunan beragama atau religiousitas. Faktor keturunan religiousitas ini didasarkan atas beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadis antara lain
وَقَالَ نُوْحٌ رَبِّ لاَتَذَرْعَلَى اْلاَرْضِ مِنَ اْلكَافِرِيْنَ دَيَّارًا. اِنَّكَ اِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْاعِبَادَكَ وَلاَيَلِدُوْااِلاَّفَاجِرًاكَفَّارًا (النوح         )
Artiya: “Berkatalah Nabi Nuh: Hai Tuhanku, janganlah Engkau memberikan tempat di bumi ini kepada orang kafir. Jika Kau memberikan tempat kepada mereka, maka mereka akan menyesatkan hambamu dan mereka tidak akan melahirkan anak, melainkan anak yang kafir pula terhadapmu.” (Q.S Nuh :26-27)
Agama Islam sebagai agama fitrah disamakan oleh Ibnu Qayyim dengan kecenderungan asli anak bayi secara instinktif (naluriah) menerima tetek ibunya.[4] Manusia menerima agama Islam bukan paksaan, melainkan karena adanya kecenderungan asli itu yaitu fitrah Islamiah.
2.      Dalil lainnya yang dapat di interpretasikan untuk mengartikan fitrah yang mengandung kecenderungan yang netral ialah antara lain sebagai berikut:
وَاللهُ يُخْرِجُكُمْ مِنْ بُتُوْنِ اُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ شَيْئًاوَجَعَلَ لَكُمْ السَّمْعَ وَاْلاَبْصَارَوَاْلاَفْئِدَةَ. .
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu, tidaklah kamu mengetahui sesuatu apapun dan Ia menjadikan bagimu, pendengaran, penglihatan, dan hati.” An-Nahl: 78
Menurut dokter Muhammad Fadhil Al-Djamali, firman Allah diatas menjadi petunjuk bahwa kita harus melakukan usaha pendidikan, aspek eksternal (mempengaruhi dari luar diri anak didik). Dan dengan kemampuan yang ada dalam diri anak didik yang menumbuhkan dan mengembangkan keterbukaan diri terhadap pengaruh eksternal (dari luar) yang bersumber dari fitrah itulah, maka pendidikan secara operasional bersifat hidayah (menunjukkan).[5]
Pengaruh dari luar diri manusia terhadap fitrah yang memiliki kecenderungan untuk berubah sejalan dengan pengaruh tersebut dapat disimpulkan dari interpretasi atas kata fitrah yang disebutkan dalam sabda nabi Muhammad riwayat Abu Hurairah sebagai berikut
مَااْلمَوْلُوْدُاِلاَّيُوْلَدُعَلَى اْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ
Tidaklah anak dilahirkan kecuali dilahirkan atas fitrah, maka kedua orangtuanya mendidiknya menjadi yahudi atau nasrani. (H.R. Abu Hurairah).
Atas dasar Al-Hadis diatas maka kita dapat memperoleh petunjuk bahwa fitrah sebagai faktor pembawaan sejak lahir manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan luar dirinya; bahkan ia tak akan dapat berkembang sama sekali bila tanpa adanya pengaruh lingkungan itu. Sedang lingkungan itu sendiri juga dapat diubah bila tidak favorable (tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita mansia).
Dari interpretasi tentang fitrah diatas dapat disimpulkan bahwa meskipun fitrah itu dapat dipengaruhi oleh lingkungan, namun kondisi fitrah tersebut tidaklah netral terhadap pengaruh dari luar. Potensi yang terkandung di dlamnya secara dinamis mengadakan reaksi atau respons (jawaban) terhadap pengaruh tersebut.
Dengan istilah lain, dalam proses perkembangannya, terjadilah interaksi (saling mempengaruhi) antara fitrah dan lingkungan sekitar, sampai akhir hayat manusia.
Dikaitkan dengan interpretasi tersebut diatas, maka paham behaviorisme (yang bersumber dari sarjana psikologi dan pendidikan Amerika Serikat) berpandangan bahwa memang manusia itu tidak dilahirkan menjadi baik atau buruk; sebagaimana pendapat Skinner yang menyatakan bahwa lingkungan sekitar menentukan perkembangan hidup seseorang, namun ia sendiri juga dapat menrubah lingkungan itu.[6] Lingkungan sekitar berperan sangat crusial (rumit) berbagai faktor kemungkinan yang bersumber dari dalam diri seseorang yang juga berpengaruh.
Jika kita mempercayai paham Jhon Lock sebagai dalil bahwa jiwa anak sejak lahir berada dalam keadaan suci, bersih bagaikan meja lilin (Tabula rasa) yang secara pasif menerima pengaruh dari lingkungan eksternal, berarti kita tidak menghargai benih-benih potensial manusia yang dapat dikemnbang tumbuhkan melalui pengaruh pendidikan. Sikap demikian akan membawa pikiran kita ke arah paham Empirisme dalam pendidikan yaitu paham yang memandang bahwa pengaruh lingkungan Esternal termasuk pendidikan merupakan satu-satunya pembentuk dan penentu perkembangan hidup manusia.
Telah dibuktikan oleh para ahli psikologi dan pendidikan yang berpaham behaviorisme bahwa perkembangan manusia tidaklah secara mutlak ditentukan oleh pengaruh eksternal, sehingga seolah-olah ia menjadi budaknya lingkunagn. Mereka membuktikan bahwa meskipun seseorang yang hidup dalam lingkungan yang sama dengan orang lain, dan masing-masing akan memberikan respon yang sama terhadap stimulus (rangsangan) yang sama namun dengan cara yang berbeda.
Dengan cara-cara yang berbeda, dalam memberikan respon (reaksi) terhadap stimulus, terbukti bahwa orang tidaklah secara mutlak tunduk kepada pengaruh lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu jiwa seseorang tidak netral dalam menghadapi pengaruh lingkungan sekitarnya, tapi responsive dan aktif.
Dengan demikian, pengertian Fitrah menurut interpretasi kedua ini bila dilihat dari segi paham kependidikan tidak dapat dikatakan, bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadis dapat dijadikan sumber ilmu pendidikan islam yang berpaham Empirisme, oleh karena faktor fitrah tidak hanya mengandung kemampuan dasar pasif yang beraspek hanya pada kecerdasan semata dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan mengandung pula tabiat atau watak dan kecenderungan-kecenderungan untuk mengacu kepada pengaruh lingkungan eksternal itu, sekalipun tidak aktif.
3.      Konsepsi Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa tiap manusia diberi kecenderungan nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap TuhanNya dan kecenderungan yang membawa sikap bertakwa mentaati perintahnya, adalah firman Allah dalam surat Asy-Syams, 7-10 sebagai berikut:
وَنَفْسٍ وَمَاسَوَّاهَا. فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَاوَتَقْوَاهَا. قَدْاَفْلَحَ مَنْ زَكَّىهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّهَا
Demi jiwa dan apa yang menyempurnakannya; lalu diilhamkan kepadanya oleh Allah jalan yang salah dan jalan yang benar. Sesungguhnya beruntuglah orang yang membersihkan jiwanya, dan sesungguhnya rugilah orang yang mengotorinya.
Firman tersebut dapat dijadikan sumber pandangan bahwa usaha mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan positif untuk mengarahkan perkembangannya kepada jalan kebenaran yaitu Islam. Dengan tanpa melalui pendidikan, manusia akan terjerumus ke jalan yang salah atau sesat yaitu menjadi kafir.
Dan firman Allah yang lain ialah:
إِنَّ هَدَيْنَاهَالسَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًاوَاِمَّاكَافُوْرًا (الانسان   )
Sesungguhnya Aku telah menunjukkannya jalan itu; (tapi) ada kalanya ia mensyukurinya (mengikuti jalan itu) dan ada kalanya ia mengkufurinya (mengingkarinya). (Al-Insan, 3).
Atas dasar ayat tersebut diatas kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam FITRAHnya, manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar dari jalan yang salah. Kemampuan memilih tersebut, mendapatkan pengarahan dalam proses kependidikan yang mempengaruhinya.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat didalam fitrah (Human Nature) manusia berpusat pada berfikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari yang salah, sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan yng benar secara benar dan tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat.
Dengan demikian berfikir benar dan sehat adalah merupakan kemampuan fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan latihan.
Sejalan dengan interpretasi tersebut, maka kita dapat mengatakan bahwa faktor lingkungan yang disengaja yaitu pendidikan dan latihan berproses secara interaktif dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pengertian ini, pendidikan islam berproses secara konvergensis yang dapat membawa kepada Konvergensi dalam pendidikan islam.
Dari uraian diatas dpat disimpulkan bahwa Ilmu pendidikan islam dapat berorientasi kepada salah satu paham Filosofis pendidikan saja atau campuran paham tersebut diatas. Namun apapun paham filosofis yang dijadikan dasar pandangan, ilmu pendidikan islam tetap berpijak pada kekuatan hidayah Allah yang menentukan hasil akhir.
Dalam pendidikan islam hidayah Allah menjadi sumber spiritual yang menjadi penentu keberhasilan terakhir dari proses ikhtiariah manusia dalam pendidikan.
4.      Komponen Psikologis dalam FITRAH
Jika kita perhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuan islam yang telah memberikan makna terhadap istilah “FITRAH” , maka dapat diambil kesimpulan bahwa fitrah ialah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Didalamnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi kehidupan manusia.[7]
Komponen-komponen dasar tersebut meliputi:
a)      Bakat
b)      Insting
c)      Nafsu dan dorongan-dorongannya (drives)
d)     Karakter
e)      Hereiditas
f)       Intuisi[8]

B. EMPAT PANDANGAN TENTANG FITRAH[9]
            Menurut Yasien Mohammad pemahaman terhadap konsep fitrah dapat dibedakan menjadi empat yaitu pandangan fatalis, pandangan netral, pandangan positif, dan pandangan dualis.
1. Pandangan fatalis
            Yaitu mempercayai bahwa setiap individu melalui ketetapan Allah adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana Allah. Pendapat para Tokoh fatalis adalah:
·        Menurut Syaikh Abdul Qodir Jailani
Mengungkapkan bahwa seorang pendosa akan masuk surga jika hal itu menjdi nasibnya yang ditentukan Allah.
·        Menurut Al-Azhari
Menyatakan bahwa sifat dasar yang tidak berubah dari fitrah berkaitan dengan nasib seseorang untuk masuk neraka atau surga. Dengan demikian, tanpa memandang factor eksternaldari petunjuk dan kesalahan petunjuk, seseorang individu terikat oleh kehendak Alloh untuk menjalani cetak biru kehidupannya yang telah ditetapkan baginya sebelumnya.
·        Ibnu Mubarok
Menafsirkan bahwa anak-anak orang musrik terlahir dalam keadaan kufur atau iman
2. Pandangan Netral
            Pandang ini dikomandani Ibnu Abd Al Barr yang mendasarkan pandangannya pada firman Alloh:                                                                     
 وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُونَ شَيْئًا
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun”. ( An Nahl 16:78).
            Pandangan ini berpendapat bahwa anak terlahir dalam keadaan suci, suatu keadaan kosong sebagai mana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur. Manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh dan tidak bedosa. Dia akan memperoleh pengetahuan tentang yang benar dan yang salah, tentang kebaikkan dan kebenaran serta keburukan dan kejahatan, dari lingkungn eksternal.
            Menurut pandangan ini keburukan dan kebaikkan hanya mewujud ketika anak tersebut mencapai kedewasaan. Setelah mencapai kedewasaan seorang menjadi bertanggung jawab atas perbuatannya.



3. Pandangan Positif
·         Ibnu Taimiyyah
Semua anak terlahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam keadaan kebajikan bawaan, dan lingkungan social itulah yag menyebabkan individu menyimpang dari keadaan ini.
·         Muhammad Ali Ash Shabuni
 Seorang ulamak kontoporer mengatakan bahwa kebaikan menyatu pada manusia, sementara kejahatan bersifat aksidetal. Manusia secara ilmiah cenderung kepada kebaikkan dan kesucian. Akan tetapi, lingkungan sosial, terutama orang tua bias menjadi pengaruh merusak pada fitrah anak.
·         Ismail Raji Al Faruqi
Manusia makhluk yang dikaruniai suatu kemampuan yang unik, yang dengan kemampuan ini semua manusia bias mengakui Alloh sebagai Tuhan Dan mengenali Perintahnya sebagai norma atau keharusan.
4. Pandangan Dualis
·         Sayyid Quthb
Dua unsur pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh, yaitu roh dan tanah, mengakibatkan kejahatan dan kebaikkan sebagai suatu kecenderungan yang setara pada manusia, yaitu kecenderungan untuk mengikuti Alloh dan kecenderungan untuk tersesat. Kebaikkan yang ada dalam diri manusia  dilengkapi dengan pengaruh-pengaruh eksternal seperti kenabian dan wahyu Alloh sementara kejahatan yang ada dalam diri manusia di lengkai factor eksternal seperti godaan dan kesesatan.
·         Shari’ati
Tanah simbol terendah dari kehinaan digabungkan dengan ruh dari Alloh. Dengan demikian Manusia adalah makhluk berdimansi ganda dengan sifat dasar ganda, suatu susunan dari dua kekuatan, bukan saja berbeda, tetapi juga berlawanan. Yang satu lebih cenderung turun pada materi dan yang lain cenderung naik pada ruh suci.


C. JENIS - JENIS FITRAH
            Menurut Syahminan Zaini jenis fitrah itu memiliki banyak dimensinya, tetapi dimensi yang terpenting adalah :[10]
1.        Fitrah agama; Sejak lahir, manusia mempunyai naluri atau insting beragama, insting yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Mutlak, yaitu Allah SWT. Sejak di dalam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya (QS. Al-A’raf: 172), sehingga ketika dilahirkan ia berkecenderungan pada al-hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak (Allah) (QS. Ar-Rum: 30)
2.        Fitrah intelek; Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Allah SWT sering memperingatkan manusia untuk menggunakan fitrah inteleknya, misalnya dengan kalimat : afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tubsirun, afala tadabarun, dan sebagainya, karena daya dan fitrah intelek ini yang dapat membedakan antara manusia dan hewan.
3.        Fitrah social; kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok yang di dalamnya terbentuk suatu cirri-ciri yang khas yang disebut dengan kebudayan.
4.        Fitrah susila; kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat-sifat amoral, atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah menciptakannya. Fitrah ini menolak sifat-sifat yang menyalhi kode etik yang telah disepakati oleh masyarakat Islam. Manusia yang menyalahi fitrah susilanya, akibatnya menjadi hina. (QS. Al-Anfal: 55, al-A’raf:179).
5.        Fitrah ekonomi (mempertahankan hidup); daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan upaya memberikan kebutuhan jasmani, demi kelangsungan hidupnya. Maksud fitrah ini adalah memanfaatkan kekayaan alam sebagai realisasi dari tugas-tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
6.        Fitrah seni; kemampuan manusia yang menimbulkan daya estetika, yang mengacu padaal-jamal Allah SWT. Tugas pendidikan yang terpenting adlah memberikan suasana gembira, senang dan aman dalam proses belajar mengajar, karena pendidikan merupakan proses kesenian, yang karenanya dibutuhkan “seni mendidik”.
7.        Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta tanah air, dan kebutuhan-kebuthan hidup yang lainnya.Semua kebutuhan manusia adalah fitrahnya yang menuntut untuk dipenuhi.
            Sayyid Qutub[11] mengemukakan kebutuhan pokok manusia yang terbagi atas empat macam, yaitu: (1) kebutuhan hati nurani setiap insan untuk memperolaeh kepuasan, ketentraman, dan ketenangan; (2) kebutuhan akal pikiran setiap insan untuk memperoleh kebebasan, kemerdekaan dan kepastian; (3) kebutuhan perasaan setiap insan untuk memperoleh rasa saling pengertian, kasih sayang, dan perdamaian; dan (4) kebutuhan hak dan kewajiban setiap insan untuk memperoleh perundang-undangan, ketertiban dan keadilan.   
            Menurut Abd al-Rahman al-Bani, yang dikutip al-Nahlawi[12], tugas pendidikan Islam adalah menjaga dan memelihara fitrah peserta didik, dan mengembangkan dan mempersiapkan segala potensi yang dimiliki dan mengarahkan fitrah dan potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan, serta merealisasikan progam tersebut secara berharap.
D. IMPLIKASI FITRAH DALAM PENDIDIKAN ISLAM
                        Manusia adalah makhluk paedagogik maksudnya adalah manusia adalah makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, dan pengembang kebudayaan. Ia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan ketrampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk mulia. Firman Allah:
فِطْرَتَ اللهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَالاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِاللهِ (الروم   )


Artinya:
“......(tegakkanlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu.....” (Q.S. Ar-Rum 30).
            Firman Allah yang berbentuk potensi itu tidak akan mengalami perubahan dengan pengertian bahwa Manusia dapat terus berfikir, merasa dan bertindak dan terus berkembang. Potensi manusia dapat dididik dan mendidik memiliki kemungkinan berkembang dan meningkat sehingga kemampuannya dan melampaui jauh dari kemampuan fisiknya yang tidak berkembang.
            Meskipun demikian, kalau potensi itu tidak dikembangkan niscaya ia akan kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan pengembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan. Teori nativis dan empiris yang dipertemukan oleh Kerchenteiner dengan teori konvergensinya, telah ikut membuktikan bahwa manusia itu adalah makhluk yang dapat dididik dan dapat mendidik. Dengan pendidikan dan pengajaran potensi itu dapat dikembangkan manusia, meskipun dilahirkan seperti kertas putih, bersih belum berisi apa-apa dan meskipun ia lahir dengan pembawaan yang dapat berkembang sendiri, namun perkembangan itu tidak dapat maju kalau tidak melaui proses tertentu, yaitu proses pendidikan. Pendidikan adalah usaha dan kegiatan pembinaan pribadi. Adapun materi, tujuan dan prinsip serta cara pelaksanaannya dapat dipahami dalam petunjuk Allah yang disampaikan oleh para Rasul-Nya.
            Pendidikan Islam berarti pembentukan pribadi muslim. Isi pribadi muslim itu adalah pengamatan sepenuhnya ajaran Allah dan Rasulu-Nya. Tetapi pribadi muslim itu tidak akan tercapai atau terbina kecuali dengan pengajaran dan pendidikan.
            Manusia adalah makhluk paedagonik, maka kewajiban menyelenggarakan pendidikan adalah kewajiban syar’I yang berarti pula bahwa perintah bertakwa adalah sekaligus perintah menyelenggarakan pendidikan yang menuju kepada pembinaan manusia bertakwa.[13]


[1] Prof. H. M. Arifin, M.Ed, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, Cet ke-4, hlm. 88.
[2] Abdul Mujib Dan Jusuf Mudzakkir, Nuansa- Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Wali Press,2001, hal. 78-85.
[3] Abdul mujib, Fitrah Dan Kepribadian Islam, Jakarta: Darul Falah, 1999, hal, 8-36.
[4] Ibnu Qayyyim, Syifa’ Al-Alil, hlm 381
[5] Prof. Dr. Muhammad Fadhil Al-Djamali, Nahwa Tarbiyatin Mu’minatin, hlm. 14.
[6] Skinner, Science and Human Behaviour, hal. 448.
[7] Prof. H. M. Arifin, M.Ed ,Op.Cit.,hlm 89-97.
[8] Prof. H. M. Arifin, M.Ed, Ibid., hal.101
[9] Fuad Nashori, Potensi- Potensi manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2003. Hal, 55-63.
[10]  Syahminan zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1986, hal, 5-9.
[11] Warminta Masykar, Gaung Ukhuwah Dan Fenomenal AgamaSebagai kesadaran insani, Al Muslimun, 1989, hal. 101.
[12] Abd al Rahman al nahlawi, Ushul Al Tarbiyah Al Islamiyah Wa Asalibuhan, Beirut: Dar Al Fikr, 1979. Hal 13.
[13] Zakiah Daradjat Dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006 hal 16-18

3 komentar:

  1. Syukraan ukhty.. ats mterix..Jazaakillaah khairaan katsiiraan...

    BalasHapus
  2. trimakasih kakak atas ilmunya,,,,semoga bermanfaat bagi kami yang mengambilnya..

    BalasHapus
  3. Shooters Casino: Online Slots and Card Games | Tournaments 우리카지노 마틴 우리카지노 마틴 jeetwin jeetwin 메리트카지노 메리트카지노 카지노 카지노 메리트 카지노 쿠폰 메리트 카지노 쿠폰 12bet 12bet bet365 bet365 2 렔사사사사사이트 꽁 머니 꽁벤 져스 꽁벤 져스 져스 져스 꽁벤 꽁벤 져스 꽁벤 꽁벤 꽁벤 꽁벤

    BalasHapus